Insan Kamil



"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arasy yang agung."

Siapa sih yang tidak ingin sempurna? Tentunya setiap manusia selalu menginginkan kesempurnaan, baik kesempurnaan jasmani maupun ruhani. Namun, seperti halnya keinginan motivasional untuk selalu yang terbaik, untuk mencapai tingkat kesempurnaan sebagai manusia tentunya melalui suatu perjuangan dengan kriteria-kriteria tertentu yang mencerminkan kemuliaan dari apa yang diperjuangkan seseorang atau sekelompok orang dengan gigih dan sadar atas segala konsekuensinya. Nah, dalam menghadapi perjuangan dan kriteria untuk mencapai kesempurnaan inilah kita biasanya bolak-balik berpikir beberapa kali apakah sanggup atau tidak mencapai kesempurnaan yang diinginkan itu?

Di dalam ajaran Agama Islam, konsep Manusia Sempurna atau Insan Kamil mencuat sejak awal sejarah Islam. Tolok ukurnya tentu saja Nabi Muhammad SAW yang menebarkan rahmatnya ke seluruh alam sebagai keparipurnaan manusia. Perhatikan bahwa kalimat “rahmat bagi seluruh alam” mengisyaratkan suatu pengertian yang sangat filosofis bahwa Nabi Muhammad SAW secara khusus merupakan suatu “variabel dominan” di dalam proses penciptaan alam semesta dan secara umum sebenarnya berarti “semua manusia” sebagai khalifah Allah.

Bagi umat Islam terminologi Insan Kamil erat kaitannya dengan ungkapan tentang Nur Muhammad (ctt: harap pembaca ingat bahwa “Nur Muhammad” hanya sekedar istilah semantik belaka, hakikatnya merujuk pada pengertian Cahaya Pertama atau Makhluk Pertama yang diciptakan Tuhan, jadi boleh jadi ada banyak istilah yang kelak muncul tergantung manusia yang memahaminya maunya dinamakan apa misalnya istilah fisika modern “Medan Higgs” atau “Potensial Kuantum” merujuk pada esensi yang serupa dengan maksud “Nur Muhammad”. Jadi meskipun kita memahami Penampilan Kekuasaan Tuhan dengan sistem abjad harap jangan terjebak dalam istilah semantik kebahasaan yang bisa memenjarakan pikiran kita seprti memakai kacamata kuda. Pahamilah dengan akal pikiran dan hati yang lurus dan benar) yang mengejawantah sebagai Nabi Muhammad SAW. Idealisasi sebagai Insan Kamil merupakan suatu acuan bagi semua Pribadi Muslim untuk selalu istiqamah dalam memperbaiki berbagai aspek akhlak dan perilakunya, baik jasmani maupun ruhaninya.


Saat ini sekurangnya ada tiga pandangan Insan Kamil di dunia Islam yang dapat dijadikan patokan bagi kita untuk memahami apa yang dimaksud dengan Insan Kamil tersebut. Pandangan pertama adalah pandangan sufistik-filosofis Ibnu Arabi, yang kedua adalah pandangan teologis Al-Jilli, ketiga adalah pandangan Insan Kamil sebagai sebuah idealisasi Pribadi Muslim yang saya olah dari sumber-sumber lokal.

Konsepsi sufistik-filosofis Insan Kamil atau manusia sempurna di dalam ajaran agama Islam merupakan suatu konsepsi yang sudah muncul sejak awal abad-abad Hijriah. Bahkan dari para generasi awal Islam inilah kita mempunyai suatu konsep Kemanusiaan Universal yang gemanya sepanjang zaman terus menerus selalu kembali diartikulasikan oleh Umat Islam sebagai tujuan ideal dalam kehidupan yang dijalaninya, khususnya kalangan penempuh Jalan Ruhani yang serius.

Konsepsi Insan Kamil memiliki nilai historis yang erat kaitannya dengan kemuliaan akhlak Nabi Muhammad SAW yang diutus Allah SWT sebagai rasul dan nabi terakhir. Istilah Insan Kamil sendiri berasal dari konsepsi sufistik-filosofis “Nur Muhammad” sebagai Nur dari Dzat Allah yang pertama kali di ciptakan. Konsep ini pertama kali diusulkan oleh Sahl at-Tustari, kemudian diolah lebih jauh oleh sufi martir al-Hallaj yang terkenal dengan ungkapan “Anna al-Haq” nya. Namun, dalam realitasnya konsep Insan Kamil yang membumi justru tersembunyi didalam QS 9:128 dan QS 9:129 yang jadi pembuka artikel ini dan merefleksikan manusia berakhlak Muhammad yang menjadi Guru bagi manusia lainnya untuk memahami kenyataan hidup dengan sadar sesadar-sadarnya dimana formalistasnya kelak akan menjadi kalimah Tauhid sekaligus syahadat yaitu "Laa ilaaha illaa Allah Muhammadurrasulullah. sebagai Ruh dari makrifatullah.

Nur Muhammad Sebagai Konsep Kepribadian Manusia Paripurna

Tinjauan Nur Muhammad sebenarnya mengandung dua pengertian yaitu Nur Muhammad sebagai awal penciptaan alam semesta dan Nur Muhammad sebagai Ruh Ilahi yang membentuk hakikat manusia yaitu sebagai Rahmaatan Lil Aalamin. Oleh karena itu Nur Muhammad sebagai Ruh Ilahi yang menerima perintah (Ruh dengan ‘Amr Allah) sejatinya ada dalam diri setiap manusia sebagai ruh yang murni dan tersucikan yang menyaksikan ke-Esa-an Tuhan dari sisi Allah semata bukan dari sisi penilaian makhluk (QS 7:172). Artinya, konotasi kesucian ini hanya Allah lah yang berhak menilainya sehingga kesucian lahiriah yang tampil di mata manusia sebenarnya tidak mempunyai peran apa-apa karena Indra Maya manusia hanya mampu menilai sebatas apa yang dilihat saja secara lahiriah. Artinya, jangan terkecoh dengan penampilan “ala sinetron” yang menampilkan seorang suci dengan jubah biksu, pendeta, atau wali, namun hakikat kesucian seorang hamba hanya Allah lah yang tahu. Pada bagian ini akan dibahas konsepsi Insan Kamil sebagai Manusia Sempurna atau Adimanusia dari tinjauan historis maupun sufistik filosofis.

Konsep al-Hallaj tentang Nur Muhammad sebagai awal segala penciptaan kemudian disalahpahami menjadi panteistik manakala ia menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang menuhan. Hal ini kemudian dimodifikasi oleh Ibnu Arabi sehingga melahirkan istilah Haqiqat Al Muhammadiyah. Sebagai tajalli dari Asma-asma dan Sifat-sifat Allah, Nur Muhammad versi Ibnu Arabi maujud di dunia menjadi Nabi Muhammad SAW yang disebutnya sebagai al-insan al-kamil, Manusia Sempurna, Adimanusia yang mampu merespon semua maujud Asma-asma dan Sifat-sifat Allah di dalam dunia. Lebih lanjut disebutkan bahwa predikat Insan Kamil dapat dicapai oleh mereka yang melakukan latihan ruhaniah yang ketat, misalnya para wali atau sufi. Jadi pada dasarnya semua orang yang berpotensi dan berkemauan dapat menjadi seorang Insan Kamil karena potensi azalinya memang demikian yaitu sebagai “penyaksi ke-Esa-an Tuhan (QS 7:172)” , “al-Insan fii ahsaani taqwiim” (QS 95:4), al-Mukminun (QS 23) dan al-Mukmin (QS 40).

Nur Muhammad menurut sudut pandang Ibnu Arabi sebenarnya identik dengan pandangan Al-Hallaj yaitu tentang kesempurnaan makhluk khususnya manusia yaitu al-Insan al-kamil. Yang membedakan adalah penjelasan dari Nur Muhammad sebagai suatu produk pemikiran sufistik filosofis. Menurut Ibnu Arabi, Insan Kamil merupakan miniatur dan realitas ketuhanan dalam penampakkan-Nya berupa jagad raya. Jadi, Insan Kamil adalah mikrokosmos sebagai refleksi dari elemen-elemen makrokosmos (jagad raya). Lebih lanjut, Ibnu Arabi mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan duplikat yang paling tepat dari al-Haqq terhadap alam semesta.

Dalam hubungannya dengan penciptaan alam semesta, titik sentral pemikiran Ibnu Arabi adalah Hakikat Muhammad yang merupakan zat ketuhanan (al-dzat al-ilahiyah) dalam bentuk penurunan-Nya yang pertama kali, yang akan menjadi sumber dari penurunan-penurunan berikutnya. Disini, Ibnu Arabi berbeda secara konseptual dengan pandangan al-Hallaj dimana makhluk dan Tuhan tetap dibedakan.

Dalam penguraian selanjutnya, Ibnu Arabi kemudian lebih merujuk pada kepribadian Nabi Muhammad SAW yang diibaratkannya sebagai suatu kesempurnaan makhluk yang sudah makrifat menyaksikan Allah SWT dengan matahati dan inderawi setelah Isra & Miraj. Sehingga ia mencapai maqam ruhaniah tertinggi yang tidak lain adalah sebagai Hamba Allah. Dengan konsep demikian, maka Nabi Muhammad SAW menjadi rasul dan nabi terakhir yang sekaligus menjadi istimewa karena dilekatkannya gelar “Kekasih Allah yang mengemban amanat untuk memperbaiki akhlak manusia menuju kemuliaan”. Dalam arti khusus, maka Nabi Muhammad SAW adalah rahmat bagi seluruh alam dan isinya karena memberikan petunjuk yang benar tentang hubungan Tuhan dan makhluk dalam perspektif kemanusiaan yag universal dengan landasan Cinta Kasih seperti tersirat dalam kalimat Bismilahir al-Rahmaan al-Rahiim yang terurai menjadi surat al-Fatihah sebagai Induk Kitab Al Qur’an.

Manusia seperti Nabi Muhammad SAW lah yang menjadi manusia ideal yaitu sebagai Manusia Sempurna atau Insan Kamil yang mengetahui segala sesuatu, baik secara lahir maupun batin. Secara lahir ia adalah pembaharu atau reformis untuk membangun suatu pranata masyarakat baru dengan ciri utama akhlak yang lebih mulia dengan mendekati sifat-sifat kemuliaan Tuhan. Secara batin, maka apa yang ditampilkan sebagai akhlak Nabi Muhamad SAW adalah maujud dari rahmat dan cinta kasih Tuhan itu sendiri, yang sebenarnya menjiwai semua penciptaan makhluk yang dimulai dengan kalimat “Kun fa Yakuun dan Basmalah”, yang bisa dilihat oleh makhluk di dunia dan harus dijadikan panutan guna menyaksikan Allah SWT sebagai suatu makrifat pengenalan yang lebih hakiki.

Pengenalan yang lebih hakiki tidak lain adalah menauhidkan Tuhan sebagai Allah Yang Maha Esa dengan cara menyaksikan langsung seperti yang beliau alami dalam Isra & Miraj. Dengan kata lain melakukan suatu perjalanan ruhani agar umatnya dapat melakukan miraj seperti dirinya. Instrumennya adalah syariat shalat lima waktu beserta aspek-aspek peribadahan Islam lainnya seperti puasa, zakat, dan amaliah lainnya. Sedangkan optimalisasinya agar makrifat tercapai adalah penyucian jiwa (QS 91:9-10) dan selalu mengingat Allah SWT (dzikir) sehingga dimensi syariat (dalam dimensi ubudiyah dan aktivitas keseharian) dapat terlaksana dengan kualitas batin yang hakiki yaitu peribadahan dengan kualitas Ihsan. Oleh karena itu, konsepsi Insan Kamil sebenarnya identik dengan terwujudnya kualitas manusia yang sesuai dengan pengertian Islam-Iman-ihsan, aqidah-syariat-tarikat-makrifat-hakikat secara utuh dan integral bukan parsial atau setengah-setengah.

Konsepsi teologis Insan Kamil yang diusung oleh Abdul Karim al-Jilli sebenarnya mengikuti jalur pemikiran filosofis Ibnu Arabi. Jadi sedikit banyak konsep dasarnya sama, hanya visi implementasinya berbeda. Selain itu, al-Jilli menguraikan konsepsinya secara lebih sistematis dan terinci. Menurut al-Jilli, hakikat Insan Kamil itu baru bukan qadim. Jadi ia pun makhluk yang diciptakan Allah pertama kali untuk melaksanakan tugas utamanya melakukan proses penampakkan Asma-asma dan sifat-sifat Allah. Jadi Insan Kamil sebenarnya merupakan bayangan dari Allah. Konsepsi ini secara garis besar sama dengan konsepsi Ibnu Arabi.

Menurut al-Jilli, selamanya Insan Kamil itu cuma satu yaitu Nabi Muhammad SAW. Namun, dalam setiap kurun waktu terdapat format-format yang menjadi duplikat dari Nabi Muhammad SAW. Dalam arti, untuk setiap ruang dan waktu (setiap zaman) tertentu terdapat format-format manusia yang menjadi Insan Kamil karena keteladanan akhlak dan perilakunya yang mengikuti akhlak dan perilaku Nabi Muhammad SAW sesuai dengan ruang-waktu implementasinya (atau aktualisasinya sesuai zamannya, kita toh kita tak bisa mengubah masa lalu kecuali kita telah menjadi sombong dan takabur sehingga terjebak dalam pusaran angan-angan dan khayal yang menyesatkan). Insan Kamil merupakan insan yang diberi hak untuk merespon Asma-asma Dzatiyah dan Sifat-sifat Ilahiyah, dengan pelimpahan hak secara orisinal dan penerapan substansial. Upaya untuk membedakan Insan Kamil Nabi Muhammad SAW dengan manusia lainnya dilakukan dengan penegasan bahwa manusia Muhammad tidaklah dapat diterapkan kepada sesuatu kecuali kepada ide “tentang Muhammad”. Jadi, al-Jilli menegaskan kembali bahwa siapapun yang mau menjadi Insan Kamil, ia harus mengikuti totalitas akhlak dan perilaku Nabi Muhammad SAW sesuai dengan ruang-waktu implementasinya. Dengan penegasan ini, jelaslah bahwa Pribadi Nabi Muhammad SAW merupakan contoh terbaik buat pembangunan akhlak dan perilaku manusia di semua zaman. Maka siapapun yang dapat mengaktualisasikan amalan dan tindakan-tindakannya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam ruang-waktunya masing-masing maka iapun akan mencapai citra kehidupan yang tinggi yang mungkin dapat diperolehnya sehingga ia menjadi Insan Kamil.

Sulthanul Auliya Syekh Abu Hasan As-Syadzili memiliki pandangan yang serupa dengan al-Jilli, beliau pernah berkata bahwa [120] :
“Aku melihat Rasulullah dalam mimpiku, lalu akan bertanya, Wahai Rasulullah SAW apakah hakikat orang yang diikuti (Rasul) itu ? Maka beliau menjawab bahwa engkau (anda) akan melihat orang yang diikuti (rasul) itu berada pada setiap makhluk bersama dengan makhluk di dalam setiap makhluk.”

Dalam pemahaman yang terintegrasi, menjadi Insan Kamil berarti upaya manusia untuk menjalin keselarasan dan kesatupaduan dengan manusia lainya, alam semesta maupun PenciptaNya dengan mempraktekkan akhlak Nabi Muhammad SAW di dalam setiap segmen kehidupannya. Sehingga, semestinya tujuan untuk menjadi Insan kamil adalah bagian dari kehidupan Umat Islam, dimanapun ia berada, dengan sasaran utama sampai kepada Allah SWT.

Perspektif Mengenai Insan Kamil

Konsepsi sufistik-filosofis dan teologis yang sudah dibicarakan diatas nampaknya bukan suatu hal yang mudah dicapai oleh kita saat ini, yang umumnya sudah terlibas oleh derap peradaban yang materialistik dengan kecondongan ke arah ateistik-hedonis yang menjadi hijab yang sulit diluruhkan. Bahkan bagi sebagian besar orang nampaknya akan sulit dicapai. Namun, hal itu sebenarnya bukan sesuatu yang mustahil, asalkan ada niat yang benar dan ikhlas di dalam dada Umat Islam yang mengidolakan Nabi Muhammad SAW sebagai panutannya.

Allah sudah berfirman bahwa manusia akan diberi tanggung jawab sesuai dengan kemampuannya (QS 2:286). Dan dari pengertian fitrah asal manusia, kita ketahui bahwa secara ruhaniah manusia sebenarnya mempunyai potensi awal yang sama. Akan tetapi pengembangan potensinya kemudian menjadi berbeda-beda karena berbagai pengaruh internal maupun eksternal. Sehingga mencapai predikat Insan Kamil, dalam batas-batas yang sesuai dengan potensinya sebenarnya bukan suatu hal yang sangat sulit. Sulit, mungkin, tetapi kalau kita mengabaikan hal itu, mungkin kita harus bertanya kepada diri sendiri atas ke-Islaman kita selama ini.

Lantas, gambaran Insan Kamil seperti apa yang mesti kita jadikan rujukan? Apakah Insan Kamil itu suatu predikat kemanusiaan terhadap Allah SWT yang relatif atau absolut? Dapatkah semua orang menjadi Insan Kamil?

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita meninjau beberapa pendapat dari ulama dan agamawan dari Indonesia yang pernah diulas dalam majalah Sufi edisi 05 tahun 2000.

Manusia Yang Mampu Mengaktualisasikan Potensinya

Dalam wawancaranya dengan majalah Sufi, Dr. Komaruddin Hidayat, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Yayasan Wakaf Paramadina, berpendapat :

“Insan Kamil adalah sebuah konsep mengenai pertumbuhan atau aktualisasi potensi manusia ketika dia sampai pada tahap yang sangat prima. Karena manusia yang paling inti bersifat spiritual (ruh) dan ruh itu bersifat riyadli. Karena itu Insan Kamil adalah suatu martabat atau sebuah maqam dimana seseorang menganggap dirinya bagaikan lokus atau tempat di situ arasy Tuhan ada atau Tuhan bersemayam di situ.

Dengan kata lain, orang yang sudah sampai pada tahap itu dirinya sudah dikuasai oleh kehendak Allah sehingga matanya melihat dengan mata Tuhan, tangannya bekerja dengan tangan Tuhan, dan pikirannya digerakkan oleh pikiran Tuhan. Tuhan seakan-akan telah masuk, bertajalli, atau hadir dalam diri manusia, sehingga sifat kemanusiaannya sudah lebih ke pinggir dan yang dominan adalah sifat keilahiannya (lahut).

Maqam seperti itu merupakan maqam yang diidealisasikan oleh setiap sufi. Dengan demikian orang yang sudah sampai pada tahap itu, walaupun badannya atau fisiknya masih di dunia, tapi dirinya sudah lebih besar dari dunia itu sendiri. Dunia lebih kecil dan menjadi bagian dari dirinya karena dia sudah masuk ke suatu wilayah spiritual, sehingga singhasana Tuhan (arasy) lebih luas dari dunia dan seisinya.

Oleh karena itu, menurut Komar, ” Insan Kamil merupakan suatu tujuan akhir yang perlu terus menerus didekati. Jadi di situ ada kesungguhan tapi juga ada sikap rendah hati. Kesungguhan bahwa memang manusia itu “dari atas” dan akan kembali “ke atas”. Rendah hati karena kita tidak mungkin jadi Tuhan. Itu sebuah upaya pencapaian tingkat terideal dari potensi yang ada”.

Komar juga memberikan ilustrasi agar aktualisasi insan kamil tidak berarti hanya melulu kepada Allah SWT, bahkan tidak mengelak dari urusan yang berhubungan dengan soal-soal kemanusiaan,” Kalau kita mencintai Allah, maka kita akan mencintai apa yang dicintai Allah. Kalau Allah menghendaki menyusun kerja, maka kita akan bekerja. Dan bekerja itu merupakan jawaban cinta Allah kepada kita dan cinta kita kepada Allah.”

Pandangan Dr. Komaruddin di atas merupakan salah satu tafsir Insan Kamil yang sufistik, namun sebagai suatu keutuhan untuk menjadi manusia sempurna, aktivitas kita sehari-hari tetap menjadi bagian dari upaya menuju kesempurnaan itu. Jadi, tanggung jawab kita sebagai pribadi dan menjadi bagian dari suatu sistem masyarakat merupakan bagian dari tujuan kesempurnaan sebagai seorang Insan Kamil namun dengan orientasi dan dinamika yang lebih banyak digerakkan karena Kehendak Allah. Dengan demikian, sebenarnya menjadi seorang Insan Kamil adalah menjadi seorang yang benar-benar tulus ikhlas karena ridha Allah SWT semata.

Manusia Yang Berproses Mencapai Kesempurnaan

Sedangkan menurut Umar Syahab MA, dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, konsep Insan Kamil dijelaskannya sbb:
“Pada dasarnya manusia itu berproses untuk menjadi yang lebih baik. Ini namanya takamul basyari, proses untuk mencapai kesempurnaan. Allah menciptakan manusia dengan berbagai potensi. Sebuah hadis mengatakan bahwa manusia pada saat lahir itu dalam keadaan fitrah, itu berarti manusia mempunyai potensi-potensi. Potensi tersebut tidak lain adalah untuk mencapai kesempurnaan.

Dalam konteks ini, setiap orang berada dalam tingkat yang sesuai dengan kualitas ruhaninya, amalnya, dan perjuangannya. Tapi tentu saja, dalam hal ini tidak ada manusia yang sama kesempurnaannya, karena kesempurnaan itu bersifat relatif. Bahkan Nabi Muhammad SAW pun sampai saat ini selalu terus menerus dalam proses kesempurnaan itu.

Misalnya saja, kita sendiri diperintahkan oleh Allah untuk bershalawat atau mendoakan Nabi Muhammad SAW. Makna shalawat itu kita berdoa kepada Allah agar Nabi Muhammad SAW dianugerahi kedudukan tinggi. Artinya, kesempurnaan itu tidak berakhir dengan kematian seseorang dan tidak berakhir pada satu tingkat tertentu. Karena, kesempurnaan mutlak hanya milik Allah sementara kita masih menuju dalam proses. Seseorang yang sudah mencapai satu tahapan tertentu yang disebut kema’shuman, atau keterlepasan diri dari perbuatan dosa dan kesalahan, inilah yang disebut Insan Kamil.”

Dari uraian Umar Syahab diatas, maka jelaslah bahwa Insan Kamil merupakan suatu idealisasi proses kesempurnaan manusia yang pada contoh aktualnya telah diupayakan oleh Nabi Muhammad SAW sepanjang hidupnya. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW selain sebagai seorang yang sedang berproses menuju Insan Kamil, sebenarnya merupakan suatu contoh manusia sempurna yang berhak menyandang predikat Insan Kamil. Dalam prosesnya, upaya kesempurnaan ini adalah suatu proses yang tidak kenal henti meskipun beliau sudah mendahului umatnya 15 abad yang lalu. Secara nyata, shalawat Nabi Muhammad SAW yang sering didengungkan oleh umatnya sampai kiamat nanti merupakan bagian dari proses penyempurnaannya.

Meskipun idealisasi Insan Kamil nampaknya terlihat “wah!”, namun pencapaian menjadi Insan Kamil ini bukan hanya dapat dilakukan oleh seorang Nabi Muhammad SAW atau hanya seorang wali saja. Setiap orang dapat mencapai tingkat Insan Kamil ini sesuai dengan potensinya masing-masing. Jadi, ukuran kesempurnaan seseorang sebagai Insan Kamil sifatnya relatif dan berbeda-beda dari satu manusia ke manusia lainnya. Relativitas ini khususnya berlaku karena kesempurnaan manusia merupakan suatu predikat yang menunjukkan posisi manusia terhadap Realitas Absolut, al-Haqq, atau Allah SWT dengan rujukkan utamanya akhlak dan perilaku Nabi Muhammad SAW sebagai contoh sekaligus barometer kesempurnaan.

Akan tetapi sifat relativitas ini bisa menjadi musnah dan menjadi mendekati absolut ketika Allah SWT melakukan intervensi langsung dengan memberikan suatu anugerah kepada orang-orang tertentu. Disini, sifat relativitas pencapaian untuk berproses menjadi Insan Kamil yang semula disandangkan kepada manusia yang menempuh jalan kesempurnaan telah di by-pass oleh Kehendak Mutlak Allah SWT. Pandangan sufistik melihat hal ini sebagai suatu proses pencerahan dimana Nur Ilahi seolah-olah mempertajam pencitraan fisis dan metafisis sehingga nur yang dicapai dengan panca indera menerangkan ciptaan Allah (bagi pelaku gnostisnya) yang berupa benda-benda, sebaliknya nur iman (keyakinan) dapat menunjukkan kepada (pelaku gnostisnya) hakikat sifat-sifat Allah [51]. Keduanya sebenarnya menunjukkan prosesi suatu pelimpahan anugerah Ilahiah yang hanya dapat dirasakan oleh pelakunya sendiri. Dalam obyektifnya menuju proses kesempurnaan sebagai Insan Kamil, maka tidak jarang bahwa pelaku jalan ruhani atau sufi akan mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai subyek dan obyek sekaligus.

Disini, memang akhirnya citra kesempurnaan makhluk Insan Kamil akan terpaku kepada ke-Insan Kamil-an nabi Muhammad SAW sebagai puncak kesempurnaan makhluk, sekaligus sebagai verifikator dari perjalanan ruhani yang dilakukannya. Bahkan dalam taraf tertentu seorang yang menuju Insan Kamil dengan panduan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan bimbingan guru mursyid yang benar akan mencitrakan suatu kondisi dan keadaan dimana ia sendiri menjadi al-Quran dan mampu menguraikannya serta menuliskannya. Perspektif awal dan akhir solah-olah berhimpit dalam suatu titik yang sama dimana masa yang lalu, sekarang dan kini nyaris menjadi suatu keadaan yang serupa tapi tak sama. Bahkan kalau tidak hati-hati kita akan keliru menafsirkan keserupaan demikian seolah-olah suatu kebetulan semata padahal yang terjadi sebenarnya merupakan suatu verifikasi firman Tuhan atau sebagai al-Bayyinah (Bukti Nyata, Qs 98) dimana kondisi-kondisi aktualisasinya akan disesuaikan dengan keadaan-keadaan yang memiliki keserupaan (similaritas) dengan kondisi masyarakat ketika Nabi Muhammad SAW saat itu hidup. Bahkan dalam banyak segi Nur Muhammad sebagai Nur Ilahi yang menjadi rahasia Insan Kamil seolah-olah seperti pengembara spiritual dari alam gaib yang melakukan reinkarnasi padahal bukan reinkarnasi namun pemurnian yang mencapai suatu titik dimana perluasan ruhaniah terjadi dan seseorang yang mencapai kondisi tersebut akan berkisah tentang penciptaan semua makhluk, mengetahui semua rahasia makhluk ciptan, mengetahui rahasia semua nabi dan rasul, dan mengetahui semua rahasia kitab suci agama baik yang monoteisme maupun yang politeisme yang pernah ada di dunia, ia seolah-olah menjadi gudang pengetahuan dimana sang pembimbing akan menjadi pengawas dan kunci pengetahuannya.

Manusia Yang Sehat Ruhani Dan Jasmani

Selain dua uraian yang telah diulas dan bersifat sufistik-akademik diatas, ada baiknya kita juga meninjau pendapat dari dunia pesantren yang lebih aplikatif. Untuk itu, saya akan mengutip pendapat KH E. Fachruddin Masturo, Pimpinan Pesantren Al-Masturiyyah, Sukabumi. Menurut pendapat beliau :
“Insan Kamil itu manusia sempurna. Terutama jiwa dan akhlaknya. Pengetahuannya juga cukup. Jasmaninya juga harus sehat. Karena memang Sumber Daya Manusia yang dibutuhkan itu manusia yang sehat, kuat, dan ber-akhlaqul karimah. Orang demikianlah yang akan bermanfaat di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Tanpa itu, susah untuk berguna di masyarakat.

Karena itu, bisa saja Insan Kamil itu diartikan manusia yang bermanfaat, yang sesuai dengan tujuan pendidikan menurut agama Islam. Dimana tujuan pendidikan itu menyiapkan anak secara fisik, akal dan spiritual (isti’dadul thifli badaniyan, akliyan, wa ruhiyan). Artinya mempersiapkan anak (secara umum manusia) agar jasmani, akal, maupun ruhaninya menjadi baik, menjadi sempurna. Jasmaninya sehat, akalnya cerdas dan ruhaninya bisa memancarkan akhlaqul kharimah. Dan rumusan itu sejak dari zaman nabi, sahabat, dan tabi’in hingga kini, ya Insan Kamil itu sendiri.”

Dari segi pendidikan Pribadi Muslim rumusan Insan Kamil yang dikatakan oleh KH E. Fachruddin Masturo merupakan suatu rumusan yang aplikatif dan membumi meskipun masih terbatas dalam lingkup yang melahirkan profesi semata. Khususnya dalam konteks pembinaan Sumber Daya Manusia yang utuh baik secara ruhani maupun jasmani.

Insan Kamil Sebagai Rumusan Akhlak Nabi Muhammad SAW

Berdasarkan tiga pendapat mengenai Insan Kamil dari berbagai kalangan dengan latar belakang berbeda tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya idealisasi Insan Kamil sebagai manusia sempurna merupakan suatu rumusan untuk mengikuti akhlak yang pernah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dan Nabi terakhir. Pandangan demikian sebenarnya dari zaman dahulu sampai sekarang hampir sama dan merupakan kontinuitas dari pandangan-pandangan terdahulu sejak era al-Hallaj, Al-Ghazali, Ibnu Arabi, al-Jilli dan sufi-sufi lainnya.

Dalam konteks kekinian, semua orang pada dasarnya dapat menjadi Insan Kamil, tetapi kesempurnaan seseorang itu disesuaikan potensi dan obyektif dari pribadi masing-masing dengan tujuan-tujuan sementara yang merupakan bagian dari ajaran Agama Islam dan tujuan absolut sampai kepada Allah SWT. Dengan demikian konsepsi Insan Kamil harus membumi, aplikatif dan sesuai dengan zamannya, namun dengan acuan kepada akhlak Nabi Muhammad SAW yang mencapai kesempurnaan tertinggi yang memungkinkan seorang Muslim menyaksikan Allah sehingga memiliki ketauhidan haqqul yaqin. Jadi mengikuti sunnatulrosul merupakan suatu upaya praktis mencapai kesempurnaan yang kita inginkan. Meskipun, sifat kesempurnaan itu relatif karena adanya perbedaan potensi manusia.

Konsepsi Insan Kamil yang relatif sebenarnya suatu pandangan yang realistis dan dapat digunakan sebagai idealisasi untuk membangun Pribadi Muslim yang Insan Kamil. Bagaimana pun juga, kita harus menyadari kerelatifan kita satu sama lain, sesuai dengan apa yang telah difirmankan di dalam Al Qur’an bahwa masing-masing manusia diciptakan sesuai dengan potensi dan kesanggupannya (QS 2:286). Pribadi Muslim yang bagaimanakah supaya identik dengan seorang Insan Kamil?

Konstruksi Kesatupaduan Pribadi Muslim Dalam Perspektif Insan Kamil

Insan Kamil sebagai konsep dasar untuk pembangunan Pribadi Muslim harus diuraikan secara integralistis atau kesatupaduan, meskipun demikian secara individual konsepsi Insan Kamil sebagai idealisasi Pribadi Muslim sifatnya relatif. Dalam arti, parameter-parameter atau kriteria-kriteria yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan sebagai Pribadi Muslim dapat disesuaikan dengan fitrah dan potensi masing-masing. Namun, yang paling mendasar adalah kriteria-kriteria tersebut ditentukan berdasarkan nilai-nilai pengembangan Pribadi Muslim yang realistis, terjangkau, sesuai dengan ajaran agama Islam, dan sesuai dengan tantangan zaman.

Kehidupan & Kesadaran Pribadi Muslim

Dalam kehidupan Pribadi Muslim, pelaksanaan rukun-rukun Islam adalah ungkapan lahiriah dari pemahaman Iman dan penghayatan Ihsan untuk membentuk aspek-aspek Kesadaran Muslim. Sedangkan pengamalan Islam merupakan pembentuk Kehidupan Muslim. Apa yang dimaksud dengan Kesadaran dan Kehidupan Muslim?

Kesadaran Muslim adalah aspek-aspek batiniyah dari keyakinan sebagai Muslim, sedangkan Kehidupan Muslim adalah aspek-aspek lahiriyah dari keyakinan Muslim. Aspek-aspek batiniyah tidak lain berkaitan dengan makrifat untuk menauhidkan Tuhan sebagai Yang Maha Esa, sehingga keyakinan yang muncul secara lahiriah bersifat hakikat. Makrifat adalah suatu keyakinan yang bersifat ilmu dan aini (Ilmul Yaqin dan Ainul Yaqin). Ilmu yaqin tidak lain merupakan puncak dari keyakinan Iman, sedangkan ainul yaqin merupakan puncak dari keyakinan Ihsan. Dalam keyakinan ilmu, akidah harus dipahami secara menyeluruh sedangkan dalam keyakinan ainul tarikat harus dilakoni atau dihayati secara utuh juga. Kedua puncak keyakinan ini akan menampakkan dirinya dalam taraf hakikat yaitu keyakinan hakiki atau haqqul yaqin.

Jadi, makrifat tertinggi sebenarnya tercapai dengan terungkapnya hakikat dengan haqqul yaqin. Untuk mencapai hal ini maka seorang Pribadi Muslim harus mampu menyaksikan hakikat al-Haqq sebagai Allah Yang Maha Esa secara langsung yaitu melalui perjalanan ruhaniah (miraj), sehingga musyahadah ketuhanan tersaksikan dan tersingkap dengan matahatinya (qolbu) sehingga tauhid seorang Pribadi Muslim adalah tauhid yang sempurna yaitu “mengenal Allah dengan Allah”.

Sedangkan aspek lahiriah seorang Muslim adalah aspek-aspek peribadahannya yaitu syariat baik ubudiyyah maupun aktivitas kesehariannya. Bila haqqul yaqin telah tercapai, atau Muslim telah melakukan makrifat, maka syariat yang dilakukan akan sempurna dengan kualitas Ihsan. Oleh karena itu, perjalanan hidup seorang muslim mestinya merupakan hasil dari interaksi dinamis antara syariat dan hakikat dari keyakinan muslim tersebut dan harus terus-menerus dibina dan ditingkatkan sehingga tercapai kearifan sebagai Pribadi Muslim. Inilah puncak keyakinan seorang Pribadi Muslim yang kita sebut sebagai Insan Kamil. Maka, pemahaman yang menyeluruh, penghayatan penuh, dan pengamalan yang sempurna dari Islam inilah yang merupakan cita-cita tertinggi dari seorang Pribadi Muslim di dalam hidupnya. Dengan kondisi ideal inilah jalan hidup seorang Pribadi Muslim akan memancarkan akhlaqul karimah dan akhir hidupnya merupakan husnul khatimah.

Cita-cita dan Nilai-nilai Pribadi Muslim

Cita-cita luhur dari Pribadi Muslim adalah membina hubungan yang serasi antara dirinya sendiri (mengenal dirinya) , dengan manusia lainnya, alam, dan Tuhannya. Ini tidak lain perwujudan dari masyarakat dan peradaban Islam. Dalam ungkapan wahyu, hal ini sebenarnya tersirat dengan ungkapan sederhana dalam Qs 48:4-5,

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah, (Qs 48:4-5)

Jadi dalam konteks pengembangan peradaban umat manusia, komponen-komponennya adalah terbinanya Pribadi dan Masyarakat Muslim yang optimum dimana ketenangan dalam hati menetap seiring dengan menetapnya pengetahuan yang meningkatkan keimanan, sehingga dalam setiap langkah kehidupannya sebagai Muslim seseorang menjalani kehidupannya dengan sadar bahwa ia adalah hamba Tuhan yang mesti selaras dengan kehendak-Nya. Keselarasan itu akan tampil sebagai akhlak perilaku yang tidak menyimpang antara apa yang ada di dalam hati karena tetapnya iman dengan kualitas yang bertingkat dari Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin, sampai al-Haqq al-Yaqin, dengan apa yang diucapkan dan tindakan yang dilakukannya. Dengan demikian, kalau kita singkat lagi secara terpadu, manifestasi dari Pribadi Muslim adalah :

Iman – Islam – Ihsan - Ilmul dan Ainul Yaqin - Haqqul Yaqin

Nilai-Nilai Islam yang sejajar dengan manifestasi Pribadi Muslim ini adalah :
Aqidah - Syariah – Tarikat – Makrifat - Hakikat

Kalau dimanifestasikan secara kolektif dalam kontek Masyarakat Muslim maka manifestasi dari Nilai-nilai Islam dan Pribadi Muslim akan sejajar dengan:
Dinul Islam (agama) - Hikmatul Islam (supra ideologi) - Tamaddunul Islam (Budaya Islam)

Kesatupaduan Pribadi - Peradaban merupakan suatu kesatupaduan dinamis dimana proses penyempurnaan Pribadi Muslim atau menjadi Insan Kamil merupakan bagian integral dari suatu proses pembangunan masyarakat muslim dan peradabannya. Keduanya saling timbal balik, saling merespon dengan umpan balik yang positif. Akan sulit membangun pribadi muslim yang utuh kalau kondisi budaya dan masyarakatnya ambur adul. Demikian juga, mana mungkin Peradaban Muslim yang sempurna akan terbentuk kalau manusia-manusianya ambur adul juga.

Pribadi Muslim Sebagai Simpul-simpul Jejaring Peradaban Muslim

Terintegrasi dan dinamis merupakan kesatupaduan yang mutlak harus terbina bila kita ingin membangun Insan Kamil sebagai komponen-komponen utama masyarakat dan peradaban Islam yang sempurna. Mengingat setiap individu mempunyai potensinya masing-masing, maka individu muslim harus saling menghormati dan membantu atas kelemahan dan kekurangannya masing-masing. Bukannya saling gontok-gontokan dan saling melecehkan. Sehingga konsep Insan Kamil yang terintegrasi tersebut merupakan suatu simpul-simpul kedinamisan yang mestinya dapat saling bahu membahu, saling menyempurnakan, saling koreksi, untuk membangun Jejaring Peradaban Muslim (Moslem Civilization Networks).

Manifestasi Pribadi Muslim merupakan simpul-simpul pembentuk Jejaring Peradaban Muslim sebagai tatanan yang lebih tinggi. Namun ada yang lebih mendasar lagi daripada sekedar uraian pada tatanan manifestasi individu, yaitu uraian manusia sebagai suatu kesatupaduan mikrokosmik. Dalam tatanan mikroskopis, maka kita dapat menguraikan Pribadi Muslim secara vertikal menjadi kesatupaduan individualitas :

Jasad – Kehidupan – Kesadaran – Keyakinan – Ruh

Dalam tatanan yang lebih halus lagi, yaitu tataran nanokosmik (istilah ini saya sintesakan nano-ukuran mikroskopis- dan kosmos. Dunia kuantum sangat halus dan terdiri dari elektron, positron, proton, netron, quark, dan partikel sub-atomis lainnya), kesatupaduan individualitas merupakan manifestasi dari kesejajaran adanya Kecerdasan Spiritual atau Spiritualitas Kuantum seorang manusia yaitu:

Tindakan - Ammarah - Lawammah - Mulhammah - Muthmainnah - Ruh Ilahi - Sirr - Sirr al Asrar

Tindakan merupakan hasil dari kondisi psikis dan ruhaniah manusia. Nafs ammarah dan lawammah merupakan kondisi-kondisi ruhani yang membentuk kecerdasan lahir.

Sedangkan mulhammah, muthmainnah, ruh ilahi, sirr, dan sirr al-Asrar merupakan kondisi-kondisi ruhani yang membangun kecerdasan batin seorang muslim.

Kecerdasan lahir dan kecerdasan batin tidak lain adalah Kecerdasan Spiritual seseorang yang utuh. Jadi, pembinaan pribadi muslim untuk mencapai kesempurnaan sebagai Insan Kamil yang paling mendasar adalah pembinaan dan pendidikan ruhaniah seorang Muslim di dalam tataran nanokosmik untuk mencapai pribadi dengan Kecerdasan Spiritual atau pribadi dengan Spiritualitas Kuantum. Dengan demikian, semua tindakan fisiknya yang maujud dalam bentuk aktivitas yang membangun peradaban sepenuhnya merupakan hasil dari proses yang transenden yang selaras dengan Kehendak Allah SWT dan semua tajalli-Nya di dunia nyata.

Pribadi Muslim Sebagai al-Insan al-Kamil

Uraian tentang Insan Kamil menjadi Pribadi Muslim, sehingga diperlukannya suatu Kecerdasan Spiritual dalam tatanan nanokosmik (qolbu) membawa kita kepada suatu kesimpulan umum bahwa untuk mencapai Insan Kamil yang sesuai dengan potensi yang kita miliki, minimal kita harus mampu mencapai tatanan individualitas Kesadaran Diri sebagai dasar dari integralitas fungsional kita yang berada didalam kesatupaduan alam semesta.

Dalam tingkat yang minimal, maka Pribadi Muslim setidaknya harus mampu berperanan sesuai dengan potensinya seperti yang telah Allah nyatakan yaitu:

• Memiliki aqidah dan keimanan yang teguh dan kokoh sehingga dapat mengenali dirinya dengan suatu kesadaran bahwa ia memberi kesaksian sebagai hamba Allah yang menauhidkan-Nya dan menyembah-Nya.

• Mampu mengemban amanat untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai manusia (Pribadi Muslim) sesuai dengan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya

• Mampu mengembangkan diri dan potensinya sebagai Pribadi muslim dalam lingkup tugasnya masing-masing sesuai dengan sunnatulrosul sebagai rujukan akhlak dan perilaku muslim dabns esuai dengan apa yang ada di dalam hatinya.

• Segala tindakannya harus mematuhi dan menyelaraskan diri dengan sunnatullah dan ketetapan-Nya serta ridha atas semua ketentuan-Nya, yang baik maupun yang buruk.

• Mampu bertugas sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dalam lingkup lokal maupun global.

Secara singkat, Pribadi Muslim sebagai Insan Kamil menunjukkan aktualisasi dari Jamal dan Jalal Allah dimana keselarasan akan tercermin dari semua tindak tanduknya baik yang lahir dan yang batin. Kalau diringkas maka didapat suatu petuah sederhana yaitu "apa yang kita lakukan adalah apa yang kita yakini dalam hati". Ungkapan sederhana inilah yang pernah terlontar dari Guru Musyid almarhum Syekh KH Abdul Djalil Mustaqiim dalam bahasa Jawa “Biyasakno Kulinakno Pangucapmu Poso Karo Karepe Atimu”. Tentunya dengan suatu cacatan khusus bahwa hati kita telah menjadi Singhasana Allah, tempat dimana Arasy KemahakuasaanNya tersimpan.

Semua item diatas merupakan rumusan yang masih konseptual, namun pada hakikatnya adalah representasi dari Kehendak Allah kepada manusia sebagai hamba Allah yang menauhidkan-Nya, yang sudah lama kita ketahui. Implementasi praktisnya mungkin harus dilakukan seperti formulasi Insan Kamil dari KH E. Fachruddin Masturo yaitu dengan suatu fokus tertentu tanpa mengabaikan kesadaran integralitasnya sebagai manusia beriman. Fokus pengembangan ini misalnya pengembangan SDM untuk Sains, Iptek, pertanian, Imtaq-Iptek, Teknologi Informasi, Administrasi dan Sekretaris, Kepramukaan/Kepanduan, dan lain sebagainya.

Keparipurnaan manusia akan dicapai bila kesadaran akan keberadaannya di alam semesta ini sesuai dengan apa-apa yang sudah menjadi tugas dan kewajiban yang diembannya di dunia. Dimana, dalam hal ini alam semesta terpahami sebagai suatu kontinuum kesadaran diri-ruang-waktu. Secara individual, pencapaian keparipurnaan ini tergantung pada kesadaran dan penguasaan manusia terhadap kondisi spiritual atau ruhaniah dirinya sendiri yaitu Kecerdasan Spiritual-nya. Namun, penguasaan atas kondisi spiritual dan ruhaniah ini mulai dapat dilakukan bila manusia mengenali dirinya sendiri dan mencapai kesadaran diri optimum bahwa dirinya tidak cuma sekedar makhluk sempurna di alam semesta. Tetapi juga munculnya kesadarannya sebagai entitas (makhluk) yang tercelup dalam rahmat dan cinta kasih Allah, terbenam dalam semesta energi Allah, terendam di dalam al-Qudrah-Nya, sehingga setiap helaan nafas, denyutan jantung, kebimbangan hati, seluruh pikiran, dan gerak kehidupan yang dijalaninya setiap saat di dunia tidak lain adalah al-Iradah-Nya sebagai hamba Allah semata.

Insan adalah makhluk yang dikarunia akal dan pikiran, kemampuan untuk memilah dan memilih, kebebasan untuk berkehendak, memilih takdirnya yang baik, diantara takdir yang buruk. Dibawah bimbingan ar-Rahmaan dan ar-Rahiim-Nya Insan yang melata mencari jati diri, akan berjalan menuju makrifat kesempurnaan; Menjadi manusia yang memahami asmaa-a-kullahaa; yang memahami tugas dan peranan dirinya; di alam semesta yang terletak antara ada dan tiada. Sampai ia kemudian ditakdirkan, untuk kembali ke haribaan Ilahi, menjadi saksi atas semua perbuatannya, menjadi saksi atas pengakuan azalinya bahwa ia sekedar hamba yang pernah mengenal Tuhannya sebagai Dia, Yang Maha Esa.

sumber:myquran.or.id